SULTRAWINN.COM, BOMBANA – Keputusan mencopot gelar Raja Moronene VII atau Pauno Rumbia Ketujuh dari Alfian Pimpie mengundang gelombang reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat adat. Pencopotan tersebut dinilai tidak sah secara hukum adat dan berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan di internal komunitas Moronene.
Pencabutan gelar yang dilakukan oleh pihak yang mengatasnamakan Rumpun Keluarga Besar Kerajaan Moronene Keuwia dianggap tidak melalui mekanisme adat yang benar. Bahkan, lembaga yang melakukan pencopotan tersebut disebut telah demisioner dan tidak lagi diakui secara resmi oleh struktur kerajaan.
Agustinus Powatu, selaku Penasihat Kerajaan Moronene Keuwia, menegaskan bahwa gelar raja hanya bisa dicabut berdasarkan pelanggaran berat, tindak kriminal, tindakan asusila, kematian, atau pengunduran diri yang sah. Menurutnya, pencopotan terhadap Alfian Pimpie tidak memenuhi salah satu pun dari syarat-syarat tersebut.
“Pencopotan raja harus melalui musyawarah adat yang sah, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk marga-marga Moronene. Apa yang terjadi kemarin tidak mencerminkan prosedur itu,” kata Agustinus, Senin (2/6/2025).
Ia mengkhawatirkan, jika tindakan sepihak ini dibiarkan, akan muncul preseden berbahaya.
“Nanti siapa saja bisa datang bawa spanduk, bikin kegiatan sendiri, lalu mencabut gelar adat semaunya. Ini merusak tatanan adat yang kita jaga turun-temurun,” tegasnya.
Penolakan juga datang dari berbagai tokoh adat Moronene lainnya. Abdul Haris Bere, penasihat Rumpun Keluarga Moronene Konawe Selatan, menyebut pencopotan tersebut sebagai langkah ilegal dan tidak mewakili musyawarah besar adat.
“Tidak ada majelis adat yang terlibat, tidak ada forum resmi yang menyepakati itu. Maka kami tidak mengakui keputusan tersebut,” ujarnya.
Senada dengan itu, tokoh masyarakat Moronene, Ramsi Salo, menyatakan penolakan keras terhadap pencopotan yang dinilainya sarat dengan intrik di luar adat. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak terprovokasi oleh narasi yang bisa memecah belah suku Moronene.
“Ini bisa mengarah pada konflik sosial, dan kita tidak ingin warisan leluhur ternoda oleh kepentingan sempit,” ucap Ramsi.
Adapun alasan pencopotan yang dikaitkan dengan dugaan penipuan dan penjualan tanah ulayat oleh Alfian Pimpie, dibantah keras oleh berbagai pihak. Menurut mereka, tuduhan tersebut belum terbukti secara hukum dan tidak bisa dijadikan dasar pembekuan gelar adat.
“Sampai hari ini, tidak ada putusan hukum yang menyatakan Alfian Pimpie bersalah. Ia tidak pernah divonis, apalagi dipenjara. Maka alasan itu cacat secara hukum dan adat,” tegas Agustinus.
Di tengah polemik ini, para tokoh adat Moronene menyerukan agar masyarakat tetap tenang dan tidak terjebak dalam disinformasi. Mereka berharap agar lembaga adat yang sah segera mengklarifikasi posisi resmi untuk menjaga kehormatan dan martabat adat Moronene.
“Kita harus kembali ke akar: musyawarah, mufakat, dan tata adat yang benar. Jangan sampai budaya besar ini dirusak oleh ego dan ambisi kelompok tertentu,” tutup Ramsi Salo.