SULTRAWINN.COM, KOLAKA UTARA – Dunia pertambangan kembali diwarnai dengan dugaan pelanggaran serius. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada PT Mulia Makmur Perkasa (MMP), perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Desa Patikala, Kecamatan Tolala, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Perusahaan tersebut diduga kuat melakukan produksi dan pengapalan ore nikel secara ilegal, bahkan sebelum mengantongi izin resmi dari pemerintah.
Berdasarkan hasil investigasi lapangan serta penelusuran dokumen melalui portal resmi Kementerian Perhubungan, diketahui bahwa PT MMP belum memiliki izin Terminal Khusus (Tersus) maupun Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). Meski demikian, aktivitas pengangkutan dan pengapalan ore nikel dari konsesi seluas 2.450 hektare tetap berlangsung.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Kami mencium adanya pelanggaran hukum yang merugikan negara dan mengancam lingkungan,” tegas Abdi Aditya, Presidium Forum Mahasiswa Sultra Jakarta, dalam konferensi pers yang digelar Minggu (7/7/2025).
Lebih lanjut, PT MMP juga diduga telah memulai kegiatan produksi dan pengapalan sebelum memperoleh persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Padahal, RKAB perusahaan baru diterbitkan pada 16 April 2025 melalui surat No. T-581/MB.04/DJB.M/2025 yang ditandatangani oleh Dirjen Minerba, Tri Winarno.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 10 Tahun 2023, setiap perusahaan tambang wajib mengantongi persetujuan RKAB sebelum memulai produksi. Dengan demikian, segala aktivitas produksi dan pengapalan ore nikel sebelum tanggal penerbitan RKAB patut diduga sebagai aktivitas tambang ilegal.
“Kami melihat ini sebagai pelanggaran sistematis. Bukan lagi sekadar kelalaian administratif, tapi sudah masuk dalam ranah pidana pertambangan,” lanjut Abdi.
Forum Mahasiswa Sultra Jakarta menyatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan laporan resmi ke Mabes Polri terkait dugaan pelanggaran tersebut. Mereka juga mendesak Kementerian ESDM untuk mencabut RKAB yang telah diberikan kepada PT MMP sebagai bentuk sanksi administratif.
Abdi menegaskan bahwa kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh mekanisme penerbitan izin tambang, khususnya terhadap perusahaan yang belum memenuhi persyaratan dasar seperti izin pelabuhan khusus.
“Ini harus menjadi preseden penting bahwa negara tidak boleh tunduk pada korporasi yang mengabaikan hukum,” tegasnya.
Skandal yang menyeret nama PT MMP menambah panjang daftar persoalan di sektor pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara. Alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi, industri ini kerap memicu konflik sosial, kerusakan lingkungan, serta berpotensi menyebabkan kebocoran pendapatan negara akibat lemahnya pengawasan dan regulasi.
Forum Mahasiswa Sultra Jakarta menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas, serta mendorong Kementerian ESDM agar lebih selektif dan tegas dalam menegakkan aturan hukum.
“Sudah cukup Sultra dijadikan ladang eksploitasi tanpa etika. Kami tidak akan tinggal diam,” tutup Abdi.