SULTRAWINN.COM, KENDARI – Sengketa lahan antara Ainun Indarsih melawan perusahaan pemurnian nikel raksasa PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) kian sarat kontroversi. Meski enam putusan pengadilan telah menguatkan Ainun sebagai pemilik sah lahan seluas 200 x 400 meter di Desa Polara, Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, pelaksanaan eksekusi justru mandek.
Kecurigaan pun muncul setelah Pengadilan Negeri (PN) Unaaha menerima gugatan perlawanan eksekusi dari PT OSS, padahal eksekusi seharusnya tetap bisa dijalankan berdasarkan putusan serta merta.
Suami Ainun, Erytnanda Akbar, mengungkap adanya dugaan praktik tidak wajar di balik penundaan itu. Ia bahkan mengaku dihubungi beberapa pihak yang mengatasnamakan oknum majelis hakim PN Unaaha.
Akbar menceritakan, pada awal 2025 dirinya beberapa kali diminta bertemu dengan oknum hakim berinisial YAP yang menangani perkara perlawanan eksekusi. Dalam pertemuan yang didokumentasikannya secara diam-diam, muncul sejumlah dugaan pelanggaran etik.
Menurut pengakuannya, Hakim YAP menawarkan jalan “damai” antara pihak Ainun dan perusahaan, namun dengan syarat nilai ganti rugi lahan diturunkan hingga Rp28 miliar dari angka awal Rp90 miliar. Tak hanya itu, YAP disebut meminta “fee” Rp2 miliar untuk dirinya, tim, dan pejabat PN Unaaha.
Pertemuan berlanjut hingga empat kali. Dalam pertemuan terakhir, YAP disebut mengungkap bahwa perusahaan hanya sanggup membayar Rp10 miliar, dengan imbal balik majelis hakim akan memenangkan PT OSS dalam putusan yang dijadwalkan 24 Februari 2025.
“YAP membujuk agar kami tidak mengajukan banding setelah kalah, dan berjanji tetap ada pembayaran 14 hari setelah masa banding berakhir,” ujar Akbar dalam keterangan tertulis, Rabu (24/9/2025).
Merasa ada indikasi pelanggaran kode etik, pihak Ainun melalui kuasa hukumnya, Andri Darmawan, melaporkan Ketua PN Unaaha, Ketua Majelis Hakim, serta dua anggota majelis hakim ke Komisi Yudisial (KY) RI.
Andri menegaskan, mediasi hanya boleh dilakukan di ruang pengadilan, bukan lewat pertemuan personal di luar.
“Kami sudah menyerahkan bukti percakapan, rekaman suara, hingga rekaman CCTV ke KY,” jelas Andri.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Komisi Yudisial telah memeriksa empat terlapor, termasuk Ketua PN Unaaha, di Pengadilan Tinggi Sultra dengan kehadiran langsung salah satu komisioner KY.
Hingga berita ini diterbitkan, hakim berinisial YAP yang diduga terlibat belum merespons upaya konfirmasi awak media, baik melalui pesan, panggilan WhatsApp, maupun sambungan telepon seluler.