Kejati Sultra Tetapkan Kepala Syahbandar Kolaka dan Tiga Petinggi Perusahaan Tambang Jadi Tersangka

SULTRAWINN.COM, KENDARI – Dunia pertambangan Sulawesi Tenggara kembali tercoreng. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra resmi menetapkan Kepala Syahbandar Kolaka, Supriadi, sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang mengguncang sektor pertambangan di Kabupaten Kolaka.

Tak sendiri, Supriadi ditetapkan bersama tiga nama lainnya: Direktur Utama PT AM berinisial MM, Direktur PT AM berinisial MLY, dan Direktur PT BPB berinisial ES. Keempatnya diduga terlibat dalam skema penyalahgunaan dokumen pelayaran kapal pengangkut ore nikel.

Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sultra, Iwan Catur Karyawan, mengungkapkan peran kunci Supriadi dalam dugaan praktik korupsi ini. Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Kolaka, Supriadi diduga memuluskan aktivitas ilegal dengan menerbitkan izin berlayar kapal-kapal pengangkut nikel yang seharusnya tidak layak diberangkatkan.

“Supriadi mengusulkan PT AM agar ditetapkan sebagai pengguna Terminal Umum milik PT Kurnia Mining Resource (KMR). Padahal, usulan tersebut belum pernah disetujui oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,” terang Iwan Catur.

Yang lebih mencengangkan, meskipun belum ada legalitas dari pusat, Supriadi tetap mengeluarkan persetujuan sandar dan berlayar kapal-kapal pengangkut ore nikel yang dokumennya mencatut nama PT AM. Padahal, bijih nikel tersebut berasal dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT PCM, bukan PT AM.

“Dokumen yang digunakan tidak sah. Tapi tetap diproses seolah-olah resmi. Dalam praktik ini, Supriadi diduga menerima sejumlah uang untuk setiap surat berlayar yang diterbitkannya,” ungkap Iwan.

Meski telah menyandang status tersangka, hingga kini Supriadi belum ditahan. Penyidik berdalih bahwa Supriadi masih menjalankan agenda di kementerian.

“Belum ditahan. Yang bersangkutan belum memenuhi panggilan karena sedang ada giat di kementerian. Tapi akan segera kita jadwalkan ulang,” tegasnya.

Kejati Sultra menduga praktik ilegal ini telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah fantastis. Meski masih menunggu hasil audit resmi, Iwan menyebut estimasi kerugian negara bisa mencapai Rp 100 miliar.

“Nilai pastinya masih dalam proses perhitungan auditor. Tapi kita perkirakan kerugiannya sangat besar,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi pengawasan pelabuhan dan tata kelola pertambangan di Sultra. Banyak pihak kini menyoroti lemahnya sistem kontrol dan transparansi, yang justru memberi ruang lebar bagi praktik-praktik lancung.