OPINI  

SLB di Sulawesi Tenggara Bebenah Menuju Pendidikan Bermutu Untuk Semua Penyandang Disabilitas Usia Sekolah

Oleh: Yasfin Yaddi – Ketua MKKS SLB Sulawesi Tenggara

Dalam sistem pendidikan nasional, Sekolah Luar Biasa (SLB) sering kali menjadi ruang yang terpinggirkan. Padahal, keberadaannya memegang peran penting dalam menjamin hak pendidikan anak – anak berkebutuhan khusus (ABK). Mereka, sebagaimana anak-anak lainnya, memiliki hak untuk belajar, berkembang, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Namun, apa yang dihadapi oleh para ABK dan pendidik di SLB tidaklah sederhana. Laporan “SLB Sultra Berbenah” yang disusun oleh Yafsin Yaddi – Ketua MKKS SLB Sulawesi Tenggara (Sultra) – menyajikan sebuah gambaran nyata bahwa pendidikan luar biasa di provinsi ini tengah berada di persimpangan antara semangat inklusi dan tantangan struktural yang kronis.

Sultra memiliki 82 SLB, terdiri dari 17 sekolah negeri dan 65 sekolah swasta. Dari data yang ada, terdapat 2.581 siswa yang belajar di bawah bimbingan 781 guru. Sekilas, angka ini menunjukkan upaya yang cukup besar dari sisi kuantitas. Namun ketika kita menyelami lebih dalam, persoalan – persoalan yang muncul sangat kompleks dan menyentuh jantung dari kualitas pendidikan itu sendiri. Salah satu isu paling mendasar adalah ketimpangan antara kebutuhan dan kapasitas.

Masalah akses dan layanan pendidikan bagi ABK masih menjadi tantangan klasik yang belum terselesaikan. Beberapa sekolah memiliki daya tampung yang sangat terbatas, sementara yang lain justru tidak terisi secara optimal. Belum lagi jika kita melihat distribusi SLB yang belum merata di seluruh wilayah kabupaten dan kota di Sultra. Kabupaten Muna memang memiliki SLB terbanyak (24 sekolah), tetapi wilayah lain belum tentu memiliki akses serupa. Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam pelayanan pendidikan yang berdampak langsung pada kesempatan belajar bagi ABK.

Kondisi ekonomi siswa pun menjadi penghambat serius. Mayoritas peserta didik berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah. Dalam konteks ini, SLB tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga menjadi penopang kehidupan sosial dan ekonomi siswa. Ketika pendidikan terganggu, maka keberlangsungan masa depan mereka ikut terancam.

Pendidikan luar biasa bukanlah sekadar memindahkan metode pembelajaran konvensional ke ruang yang berbeda. Ia menuntut pendekatan pedagogis yang spesifik, empati yang tinggi, dan kompetensi profesional yang teruji. Sayangnya, dari 781 guru SLB di Sultra, hanya 134 orang yang merupakan lulusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Artinya, lebih dari 80% guru mengajar tanpa latar belakang pendidikan khusus yang seharusnya menjadi syarat utama.

Komposisi ini tentu berdampak besar terhadap kualitas pembelajaran. Guru – guru yang tidak memiliki keahlian di bidang PLB akan mengalami kesulitan dalam menghadapi tantangan individual siswa, mulai dari cara komunikasi, pembelajaran berbasis kebutuhan khusus, hingga penilaian berbasis kemampuan unik. Selain itu, ketimpangan status kepegawaian juga menjadi perhatian serius, hanya 214 guru berstatus PNS atau PPPK, sementara sisanya (567 orang) adalah Guru Tidak Tetap (GTT). Hal ini menciptakan ketidakpastian, baik dari sisi kesejahteraan guru maupun keberlanjutan pelayanan pendidikan.

Kualitas SLB tidak hanya ditentukan oleh guru di ruang kelas. Kepemimpinan kepala sekolah dan pengawasan juga berperan penting dalam menjaga mutu pendidikan. Fakta bahwa banyak kepala sekolah SLB merangkap sebagai Pelaksana Tugas (Plt) menunjukkan lemahnya struktur manajemen pendidikan luar biasa di daerah. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah pengawas pendidikan luar biasa yang tersedia sangat minim dan sebagian besar bahkan bukan berasal dari latar belakang PLB. Padahal idealnya, setiap kabupaten/kota memiliki setidaknya satu pengawas khusus SLB untuk menjamin kualitas pendidikan berjalan sesuai standar.

Meski tantangannya kompleks, bukan berarti tidak ada harapan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas SLB. Program bantuan operasional (BOS Reguler dan BOS Kinerja), pembangunan dan renovasi gedung sekolah, bantuan beasiswa untuk ABK dari keluarga tidak mampu, hingga penguatan UKS adalah beberapa bentuk komitmen yang patut diapresiasi. Di sisi lain, pengembangan kurikulum dan penyediaan perangkat TIK menjadi indikator bahwa pemerintah mulai menyadari pentingnya modernisasi pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus.

Namun, semua ini belum cukup. Upaya pemerintah belum sepenuhnya menjangkau permasalahan struktural yang lebih dalam. Sebab, peningkatan mutu tidak hanya tentang infrastruktur dan bantuan dana, melainkan juga soal penguatan sumber daya manusia dan kebijakan yang berpihak secara konsisten.

Yang menarik, inisiatif yang lahir dari komunitas guru dan kepala sekolah justru memberi harapan besar. MKKS SLB Sultra misalnya, aktif menggerakkan berbagai program seperti “Tebar Kebaikan”, berbagi praktik baik antarguru, workshop penguatan kompetensi (seperti pelatihan Braille dan bahasa isyarat), hingga studi tiru ke SLB Nasional Bagian C Malang dan SLB Negeri Surakarta. Kegiatan ini bukan hanya memperkaya wawasan para pendidik, tetapi juga menjadi ruang kolaborasi untuk mengembangkan inovasi lokal.

Salah satu gagasan menarik adalah semangat “One School One Product”, di mana setiap SLB didorong menghasilkan satu produk unggulan dari siswa-siswanya. Gagasan ini mampu mengintegrasikan aspek kewirausahaan dalam pendidikan luar biasa, yang tentu sangat berguna untuk kemandirian ABK di masa depan.

Tak kalah penting, peringatan Hari Disabilitas Internasional yang dirayakan rutin setiap Desember menjadi ruang apresiasi dan aktualisasi diri bagi para siswa. Momentum ini juga memperkuat kesadaran publik tentang pentingnya mendukung keberadaan SLB sebagai bagian dari sistem pendidikan inklusif.

Pendidikan luar biasa di Sulawesi Tenggara memang sedang berbenah. Tetapi pembenahan ini tidak akan pernah cukup jika hanya dilakukan oleh satu pihak. Diperlukan sinergi antara pemerintah, komunitas sekolah, masyarakat sipil, hingga sektor swasta untuk membangun ekosistem pendidikan yang benar-benar adil dan manusiawi. ABK bukan sekadar objek belas kasih, tetapi subjek pendidikan yang memiliki potensi dan hak yang sama.

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap pendidikan luar biasa. Ini bukan soal keistimewaan, tetapi tentang keadilan. Dan keadilan hanya bisa terwujud ketika semua anak, tanpa kecuali, diberi kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi dalam lingkungan yang aman dan suportif.

Jika SLB di Sulawesi Tenggara bisa berbenah dengan dukungan semua pihak, maka tidak mustahil provinsi ini menjadi pelopor pendidikan luar biasa yang bermutu, inklusif, dan berkeadilan di Indonesia.