Oleh: Laode M. Rusliadi Suhi, SH., MH. – Ketua Divisi Hukum & HAM Perisai Prabowo
Nama Natalius Pigai telah lama dikenal dalam politik nasional, terutama atas komitmennya terhadap hak asasi manusia (HAM). Sebagai mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012-2017, Pigai diakui sebagai tokoh yang vokal dalam memperjuangkan HAM. Kepercayaan terhadapnya terlihat nyata ketika Presiden Prabowo Subianto menunjuk Pigai sebagai Menteri HAM dalam Kabinet Merah Putih, menunjukkan keseriusan pemerintah untuk fokus pada isu HAM sebagai mandat konstitusi.
Dibentuknya Kementerian HAM adalah langkah progresif dan berani dari Prabowo, yang memperlihatkan komitmen dalam menegakkan HAM secara fokus dan terstruktur. Sejak berdirinya Komnas HAM pada 1999, isu HAM telah menjadi bagian dari dinamika politik di Indonesia. Namun, berbeda dengan Komnas HAM yang merupakan lembaga mandiri, Kementerian HAM adalah bagian dari struktur eksekutif, yang mungkin menghadapi tantangan dalam tugasnya menangani HAM di tengah kompleksitas birokrasi hukum.
Penulis mencatat tiga hal penting dalam pembentukan Kementerian HAM di bawah pemerintahan Prabowo:
1. Keseriusan Pemerintah dalam Menegakkan HAM
Pembentukan kementerian ini menegaskan keseriusan Prabowo dalam menegakkan HAM sebagai bagian dari amanat konstitusi. Kementerian HAM akan memberi perhatian penuh pada isu-isu HAM yang selama ini seringkali terabaikan.
2. Kebijakan Berani Memisahkan Kementerian HAM
Kementerian HAM sebagai entitas terpisah dari Kementerian Hukum dan HAM adalah langkah yang tidak terduga namun signifikan. Ini menjadi upaya membangun sistem pemerintahan yang lebih humanis dan responsif terhadap tantangan baik dalam maupun luar negeri.
3. Pemilihan Natalius Pigai sebagai Menteri HAM
Selain berpengalaman sebagai aktivis dan mantan anggota Komnas HAM, Pigai merupakan representasi masyarakat Papua, yang memiliki sejarah panjang terkait isu HAM. Penunjukan Pigai sebagai menteri adalah langkah strategis yang menunjukkan perhatian khusus pemerintah terhadap masyarakat Papua.
Dari perspektif kenegaraan, HAM adalah pilar fundamental, tercantum dalam Pasal 28 A-J UUD 1945 yang mencakup hak-hak dasar seperti hak hidup, hak perlindungan dari kekerasan, hak pendidikan, dan hak layanan kesehatan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, negara menunjukkan komitmennya untuk menjaga dan melindungi hak asasi yang bersifat universal.
Namun, tanggung jawab Kementerian HAM ini memerlukan dukungan anggaran yang memadai. Pigai menyatakan bahwa anggaran sebesar 64 miliar rupiah untuk kementeriannya terlalu kecil, dan pernyataan ini wajar.
Salah satu program besar yang dicanangkan adalah pendidikan HAM bertaraf internasional, sebagai upaya meningkatkan reputasi Indonesia dalam hal HAM di mata dunia. Selain itu, program sosialisasi HAM di 79 ribu desa juga membutuhkan sumber daya besar, baik dari sisi tenaga kerja maupun fasilitas.
Oleh karena itu, penting kiranya agar pembahasan anggaran Kementerian HAM bersama DPR RI Komisi XIII dapat dilakukan dengan cepat dan mendukung kebutuhan kementerian ini untuk masa depan.