SULTRAWINN.COM, KENDARI – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Pemantauan Kebijakan Publik (LPKP) resmi melaporkan dugaan praktik pengaturan proyek di lingkup Pemerintah Kabupaten Buton Selatan (Busel), Jumat 17 Oktober 2025.
Ketua LPKP, La Ode Tuangge mengatakan, laporan tersebut berangkat dari serangkaian temuan yang mengindikasikan adanya praktik sistematis dalam proses tender proyek di daerah itu.
“Bahwa dalam pengaturan proyek pekerjaan di Kabupaten Buton Selatan dilakukan oleh orang–orang kepercayaan Bupati Buton Selatan. Bahkan, diduga masih memiliki hubungan kekerabatan,” ujar La Ode Tuangge.
Menurut dia, dugaan itu menguat setelah pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses lelang proyek di berbagai sektor, terutama pendidikan dan sanitasi.
Ia menyebutkan, salah satu contoh yang dilakukan pengaturan oleh orang terdekat Bupati Busel adalah proyek pembangunan Instalasi Penanganan Limbah Terpadu (IPLT) di Kelurahan Bosowa, yang ditender pada 22 Mei 2025 dengan nilai Rp9,33 miliar.
“Kontraktor yang memenangkan tender tersebut semestinya CV Tatangge Ventures, namun diubah menjadi CV Ghaniyyah Cipta Konstruksi, dengan cara memanggil perwakilan dari CV Tatangge Ventures untuk mundur dari proses lelang, karena menurut ajudan Bupati Busel bahwa itu paketnya bos (anak mantu Bupati Busel),” jelasnya.
La Ode Tuangge juga menyinggung tender pembangunan Gedung Serba Guna SMP Negeri 1 Kadatua, dengan anggaran Rp1,9 miliar. Ia menyebut pemenang seharusnya CV Aqilah Konstruksi, namun justru dialihkan.
“Dengan cara pemenang lelang dan perusahaan peringkat kedua dan ketiga tidak diundang untuk pembuktian, dengan alasan bukti kepemilikan peralatan tidak valid,” ungkapnya.
Modus serupa, lanjutnya, terjadi pula pada proyek ruang perpustakaan SMP Negeri 3 Satu Atap Kadatua senilai Rp567 juta.
“Kontraktor yang memenangkan tender tersebut semestinya CV Asta Konstruksi, namun diubah menjadi CV Aries Mandiri, dengan cara pemenang lelang tidak diundang untuk pembuktian, dengan alasan bukti kepemilikan peralatan tidak valid,” bebernya.
Selanjutnya, dugaan pengaturan tender juga ditemukan dalam proyek pembangunan dua ruang kelas baru (RKB) SMP Negeri 3 Satu Atap Kadatua, senilai Rp850 juta.
“Dengan cara pemenang lelang tidak diundang untuk pembuktian, dengan alasan tidak melampirkan SKP, padahal pemenang tender telah melampirkan,” jelasnya.
La Ode Tuangge menambahkan, pola serupa muncul pula dalam tender proyek rehab tiga RKB SMP Negeri 3 Satu Atap Siompu, dengan nilai Rp567 juta, serta rehab empat RKB SD Negeri 1 Lampanairi senilai Rp830 juta.
“Kontraktor yang memenangkan tender tersebut semestinya CV Tata Konstruksi Mandiri, namun diubah menjadi CV Karya Tebas Persada, dengan cara pemenang lelang tidak diundang untuk pembuktian, dengan alasan tidak ada bukti SPT yang sebenarnya ada,” ungkapnya.
“Lalu pada tender proyek Bangunan Gedung Tempat Pendidikan Rehabilitasi 4 RKB SD Negeri 1 Lampanairi, dengan anggaran Rp830.000.000, kontraktor yang memenangkan tender tersebut semestinya CV Lans Project, namun diubah menjadi CV Amiro Hutama Karya, dengan cara pemenang lelang tidak diundang untuk pembuktian, dengan alasan bukti kepemilikan peralatan yang berupa nota tidak valid karena toko sudah tutup,” tambahnya.
Temuan terakhir, terdapat pada proyek rehabilitasi tiga RKB SMP Negeri 1 Sampolawa senilai Rp850 juta.
“Kontraktor yang memenangkan tender tersebut semestinya CV Asta Konstruksi, namun diubah menjadi CV Independen Fight Kontraktor, dengan cara pemenang lelang tidak diundang untuk pembuktian, karena tidak memperhitungkan sisa kemampuan paket (SKP), padahal CV Asta Konstruksi memiliki kecukupan kemampuan,” jelasnya.
Lanjut Menurut La Ode Tuangge, perubahan pemenang tender-tender itu bukan hanya soal manipulasi administrasi, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
“Selain adanya ‘kongkalingkong’ untuk memenangkan perusahaan–perusahaan tersebut, penyalahgunaan kewenangan juga diduga merugikan keuangan negara, karena perusahaan sebagai peringkat pertama dalam tender proyek-proyek tersebut adalah perusahaan dengan nilai tender terkecil, sehingga akan ada penambahan sisa anggaran yang signifikan untuk APBD Perubahan Tahun 2025,” jelasnya.
LPKP menuding dugaan permainan ini tidak bisa dilepaskan dari peran kepala daerah.
“Dengan adanya dugaan permainan atau pengaturan proyek tersebut, kami menduga bahwa Bupati Buton Selatan telah mendalangi pengaturan proyek tersebut, sampai kepada permintaan fee proyek,” katanya.
Karena itu, LPKP mendesak lembaga antirasuah untuk turun tangan.
“Bahwa kami dari LPKP Sultra meminta KPK RI untuk melakukan investigasi atau mendalami serta menyelidiki perkara dalam laporan pengaduan yang kami maksud,” tuturnya.
Lebih jauh, Ia juga menilai bahwa dugaan itu berpotensi memenuhi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Terhadap fakta-fakta yang telah kami uraikan tersebut, berpotensi memenuhi unsur Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a dan b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.
“Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi KPK RI untuk tidak menindaklanjuti perkara yang kami adukan,” tegasnya.
La Ode Tuangge menutup dengan keyakinan bahwa lembaga antirasuah masih memiliki integritas untuk menangani perkara di Buton Selatan.
“Bahwa kami meyakini Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia masih jauh lebih baik dalam melakukan penanganan korupsi di Indonesia, khususnya di Kabupaten Buton Selatan Sulawesi Tenggara dibanding dengan lembaga hukum lainnya,” pungkasnya.